Assalamualaikum,

Berikut di bawah ini adalah beberapa hadis palsu dan dhoif seputar kelebihan puasa2 sunat.. Semoga jadi panduan utk kita semua :

كَانَ النّبِي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ رَجَب قال : اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.

“Adalah Nabi ketika memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a:
اللّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, limpahkanlah barakah pada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami 
kepada bulan Ramadhan.”  [hadits dha’if sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi rahimahullah]



فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُورِ كَفَضْلِ القُرآنِ عَلى سَائِرِ الكَلامِ، وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبانَ عَلَى الشّهُورِ كَفَضْلِي عَلَى سَائِرِ اْلأَنْبِياءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضانَ كَفَضلِ اللهِ عَلى سَائِرِ الْعِبَادِ.

“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’an atas seluruh 
perkataan, keutamaan bulan Sya’ban atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaanku atas seluruh para nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan atas bulan-bulan yag lain adalah seperti keutamaan Allah atas seluruh hamba.” [hadits maudhu’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah]



إِنّ شّهرَ رَجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ فِيه يَومًا كَتَبَ اللهُ بِه صَومَ ألْفِ سَنَةٍ.

“Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan itu, maka Allah tuliskan untuknya (pahala) puasa seribu tahun.” [hadits maudhu’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah]



إِنّ فِي الْجنَةِ نَهْرًا يُقالُ لَه رَجَبٌ أَشَدُّ بَياضًا مِن اللّبَنِ وَأَحْلَى مِن الْعَسلِ، مَن صَامَ يَومًا مِن رَجَبٍ سَقاهُ اللهُ تَعالَى مِنْ ذَلكَ النّهرِ.

“Sesungguhnya di al-jannah (syurga) itu ada sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu, dan rasanya lebih manis daripada madu, barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, Allah ta’ala akan memberi minum kepadanya dari sungai tersebut.” [hadits maudhu’]



إنَّ فِي الْجنّةِ نَهْراً يُقالُ له رَجَبٌ مَاؤُهُ الرّحِيقُ، مَنْ شَرِبَ مِنه شُربةً لَمْ يَظْمَأْ بَعدَها أبَداً، أَعَدّهُ اللهُ لِصَوَّامِ رَجَبٍ.

“Sesungguhnya di al-jannah itu terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya adalah ar-rahiq (sejenis minuman yang paling lazat rasanya), yang mana barangsiapa minum darinya seteguk saja, dia tidak akan merasakan haus selamanya. Sungai tersebut Allah sediakan untuk orang yang sering berpuasa Rajab.” [hadits bathil, serupa dengan maudhu’]



صَومُ أَوّلِ يَومٍ مِن رَجَبٍ كَفّارَةُ ثَلاثِ سِنِيْنَ ، وَالثّانِي كَفّارةُ سَنَتَيْنِ ،والثّالِثُ كَفّارةُ سَنَة ثُمّ كُلّ يومٍ شهْراً.

“Berpuasa pada hari pertama bulan Rajab sebagai kaffarah (penebus dosa) selama tiga tahun, pada hari kedua sebagai kaffarah selama dua tahun, dan pada hari ketiga sebagai kaffarah selama setahun, kemudian setiap harinya sebagai kaffarah selama sebulan.” [hadits dha’if]



رَجَبٌ شَهرُ اللهِ وَشَعبانُ شَهرِيْ وَرَمضانُ شَهرُ أُمّتِي.

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku.” [hadits maudhu’]



خِيَرَةُ اللهِ مِن الشُّهورِ شَهرُ رجبٍ، وَهُوَ شَهرُ اللهِ، مَنْ عَظّمَ شَهرَ رَجب فَقَدْ عَظّم أمرَ اللهِ، وَمَن عَظّمَ أمرَ اللهِ أَدْخَلَهُ جَنّاتِ النّعِيمِ وَأَوجَبَ لَه.

“Pilihan Allah dari bulan-bulan yang ada adalah jatuh pada bulan Rajab, dia adalah bulan Allah, barangsiapa yang mengagungkan bulan Rajab, maka sungguh dia telah mengagungkan perintah Allah, dan barangsiapa yang mengagungkan perintah Allah, maka Allah akan masukkan dia ke dalam surga yang penuh kenikmatan, dan itu pasti untuk dia.” [hadits maudhu’]



مَنْ صَامَ ثلاثةَ أيّامٍ مِن شَهرٍ حَرامٍ كَتَبَ اللهُ عِبادةَ تِسْعِمِائَةِ سَنَةٍ.
“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari pada bulan haram, Allah tulis baginya (pahala) ibadah selama 900 tahun.” [hadits dha’if]


مَنْ صَلّى بَعدَ الْمَغربِ أَوّلَ لَيْلَةٍ مِن رجبٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ بِلاَ نَجَاسَةٍ.
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat setelah maghrib pada malam pertama bulan Rajab sebanyak
20 raka’at, maka dia akan melalui titian shirath tanpa hisab.” [hadits maudhu’]



إنّ شَهرَ رجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ مِنهُ يَوماً كَتبَ اللهُ لَه صومَ أَلْفِ سَنَةٍ وَمَنْ صامَ يَومَيْنِ كَتَبَ الله له صيامَ أَلْفَيْ سَنَةٍ وَمَنْ صام ثلاثةَ أيّامٍ كَتب الله له صيامَ ثلاثةِ ألفِ سَنة ومَن صامَ مِن رجبٍ سَبعةَ أيّامٍ أُغْلِقَتْ عنه أبوابُ جهنّمَ وَمَن صامَ مِنهُ ثَمانِيَةَ أيّامٍ فُتِحَتْ له أبوابُ الْجَنّةِ الثّمانِيةُ يَدخُلُ مِن أَيِّها يَشَاءُ …
“Sesungguhynya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari, Allah tuliskan baginya puasa seribu tahun, barangsiapa berpuasa dua hari, Allah tuliskan baginya puasa 2000 tahun, barangsiapa yang berpuasa tiga hari, Allah tuliskan baginya puasa 3000 tahun, barangsiapa berpuasa di bulan Rajab selama tujuh hari, maka pintu-pintu jahannam tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa lapan hari, pintu-pintu al-jannah yang lapan akan dibuka untuknya, dia dipersilakan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki……” [hadits maudhu’]



مَن صامَ يوماً مِن رجب كانَ كَصِيامِ سَنةٍ، ومن صام سَبعةَ أيّامٍ غُلِّقَتْ عَنهُ أبوابُ جَهَنّمَ ومَن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ فُتِحَتْ لَه ثَمَانِيةُ أبوابِ الْجَنّةِ وَمن صامَ عَشْرَةَ أيّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ شيئاً إلاّ أعطاهُ اللهُ ومَن صامَ خَمسةَ عَشَرَ يوماً نَادى مُنادٍ فِي السّماءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا سَلَفَ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, maka dia akan mendapatkan pahala seperti berpuasa selama setahun, barangsiapa yang berpuasa selama tujuh hari, pintu-pintu jahannah akan tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa selama lapan hari, maka lapan pintu al-jannah akan terbuka untuknya, barangsiapa yang berpuasa selama sepuluh hari, maka tidaklah dia memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti Allah beri, dan barangsiapa yang berpuasa selama 15 hari, maka ada penyeru dari langit yang akan memanggil dia: sungguh dosa-dosamu yang telah lalu telah terampuni.” [hadits maudhu’]



مَن صامَ يوماً مِن رَجَبٍ وصَلّى فِيهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِي أوّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرّةٍ آيةَ الْكُرسِي، وَفِي الرّكْعةِ الثّانِيَةِ قُل هُو الله أحَدٌ مِائَةَ مَرّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِن الْجَنّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.
“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, dan solat empat rakaat yang pada rakaat pertama membaca ayat kursi sebanyak seratus kali, kemudian pada rakaat kedua membaca ‘qul huwallahu ahad’ seratus kali, maka tidaklah dia meninggal sampai dia melihat tempat duduknya di al-jannah atau diperlihatkan kepadanya.” [hadits maudhu’]



مَنْ أَحْيَا لَيْلَةً مِن رجبٍ وصَامَ يوماً، أَطْعَمَهُ الله مِن ثِمارِ الْجَنّةِ، وَكَساهُ مِن حُلَلِ الْجَنّة وسَقاهُ مِن الرّحِيقِ الْمَخْتُومِ، إِلاّ مَنْ فَعَلَ ثَلاثاً : مَنْ قَتَلَ نَفْساً، أَوْ سَمِع مُسْتَغِيثاً يَسْتَغِيْثُ بِلَيْلٍ أو نَهارٍ فَلَم يُغِثْهُ ، أَو شَكَا إِليه أَخُوهُ حَاجَةً فَلَمْ يُفَرِّجْ عَنهُ.
“Barangsiapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab dan berpuasa sehari di bulan tersebut, maka Allah akan memberikan dia makanan dari buah-buahan al-jannah, pakaian dari al-jannah, dan minuman dari ar-rahiqul makhtum, kecuali orang yang melakukan tiga perbuatan: (1) orang yang membunuh satu jiwa, atau (2) mendengar orang lain meminta minum, malam maupun siang tetapi dia tidak mau memberikannya, atau (3) ada saudaranya yang mengeluhkan kepadanya suatu keperluan, namun dia tidak mau memberikan jalan keluar untuknya.” [hadits maudhu’]



خَمسُ لَيالٍ لاَ تُردُّ فِيهِنّ الدّعْوَةُ : أَوّلُ لَيلةٍ مِن رَجَبٍ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِن شَعبانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعةِ، وَليلةُ الْفِطْرِ، وَلَيلةُ النّحْرِ.
“Ada lima malam yang jika sebuah doa dipanjatkan padanya, maka tidak akan tertolak: (1) malam pertama bulan Rajab, (2) malam nishfu (pertengahan) Sya’ban, (3) malam Jum’at, (4) malam ‘idul fithri, (2) malam hari Nahr (malam 10 Dzulhijjah).” [hadits maudhu’]



مَن صامَ ثلاثةَ أيامٍ مِن رجب كَتَبَ اللهُ لَه صِيامَ شَهْرٍ ، وَمن صامَ سَبعةَ أيّامٍ مِن رَجَبٍ أَغْلَقَ الله سَبعةَ أبوابٍ مِن النّارِ ، وَمن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ مِن رجبٍ فَتَحَ الله لَه ثَمانِيَةَ أبوابٍ مِن الْجَنّةِ، ومن صامَ نِصفَ رَجَبٍ كَتَبَ الله له رِضوانَه، وَمن كُتِب
لَه رِضْوانُه لَم يُعَذِّبْه، ومَن صامَ رجب كُلَّه حَاسَبَه الله حِساباً يَسِيراً.

“Barangsiapa yang berpuasa tiga hari bulan Rajab, Allah akan menuliskan untuknya pahala puasa selama sebulan, barangsiapa yang berpuasa tujuh hari bulan Rajab, Allah akan tutup tujuh pintu neraka, barangsiapa yang berpuasa lapan hari bulan Rajab, Allah akan bukakan untuknya lapan pintu al-jannah, barangsiapa yang berpuasa pada pertengahan bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan untuknya keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang dituliskan baginya keridhaan-Nya, pasti Allah tidak akan mengadzabnya, dan barangsiapa yang berpuasa Rajab satu bulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.” [hadits maudhu’]



أَكْثِرُوا مِن الاسْتِغْفارِ فِي شهرِ رَجَبٍ، فَإِنّ لِلّهِ فِي كُلِّ سَاعةٍ مِنه عُتقاءَ مِن النّارِ، وَإِنّ لِلّهِ مَدَائِنَ لاَ يَدخُلُها إِلاّ مَن صامَ رَجَب.
“Perbanyaklah istighfar pada bulan Rajab, karena sesungguhnya pada setiap waktu  Allah memiliki hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari neraka,dan seungguhnya Allah memiliki kota-kota yang tidaklah ada yang boleh memasukinya kecuali orang yang berpuasa Rajab.” [hadits bathil]
بُعِثْتُ نَبِياً فِي السّابِع وَالْعِشْرِينَ مِن رجبٍ، فَمن صامَ ذلك اليومَ كانَ كَفّارَةُ سِتِّيْنَ شَهْراً.
“Aku diutus sebagai nabi pada 27 Rajab, barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, maka itu sebagai kaffarah (penebus dosa) selama 60 bulan.” [hadits munkar]



أَنّ اللهَ أَمَرَ نُوحاً بِعَمَلِ السّفِينَةِ فِي رَجَبٍ وَأَمَرَ الْمُؤمِنِيْنَ الّذِينَ مَعَهُ بِصِيامِهِ.
“Sesungguhnya Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membuat perahu pada bulan Rajab dan memerintahkan kaum mukminin yang bersama beliau untuk berpuasa.” [hadits maudhu’]



مَن صامَ مِن كُلِّ شَهرٍ حَرامٍ : الْخَمِيس، والْجُمُعة، والسّبْت كُتِبتْ لَه عِبَادَةُ سَبْعِمِائةِ سَنَة.
“Barangsiapa yang berpuasa pada setiap bulan haram hari Kamis, Jum’at, dan  Sabtu, maka akan dituliskan baginya pahala ibadah selama 700 tahun.” [hadits dha’if]



Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata:
“Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab, keutamaan berpuasa Rajab, atau keutamaan berpuasa beberapa hari pada bulan tersebut, maka hadis-hadis tersebut terbahagi menjadi dua:
(1) hadits-haditsnya maudhu’ (palsu), dan
(2) hadits-haditsnya dha’if (lemah) iaitu tidak ada satupun yang sohih.
Wa Allahu  A'alam...

BAYAN LINNAS SIRI KE-17
[PENJELASAN BERHUBUNG HUKUM ZIKIR MENARI]

Mukadimah
Isu ini hangat diperkatakan oleh semua pihak. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Facebook kami, kami mahu membincangkannya secara khusus seperti yang telah dijanjikan. Bersama dengan isu ini, banyak tajuk berkaitan yang lain dan kami tidaklah membincangkannya kecuali tajuk ini sahaja supaya ia lebih terfokus dan sampai kepada sasaran. Justeru, Bayan Linnas pada kali ini kami namakan dengan Penjelasan Berhubung Hukum Zikir Menari. 
Pada masa ini, isu ini begitu hangat diperbahaskan.

Maka, kami kemukakan di sini pelbagai pandangan dan hujahan berdasarkan nas atau fatwa yang dikemukakan. Semoga pencerahan ini memberi kefahaman yang baik kepada kita. Amin.

Definisi Zikir 
Pelbagai maksud dan definisi dapat diberikan kepada pengertian zikir. Dari segi bahasa zikir bermaksud mengingati. Semantara dari segi istilah pula zikir merupakan mengingati Allah s.w.t. bilamana dan di mana sahaja berada dengan cara-cara yang dibolehkan oleh syarak seperti menerusi ucapan perbuatan atau dengan hati. 

Selain itu, zikir juga dapat diertikan sebagai sebahagian daripada rangkaian iman yang diperintahkan agar kita melakukannya setiap saat. Mengingati Allah mendorongkan seseorang melakukan suruhan-Nya dan meninggalkan laranganNya. Mengingati Allah adalah usaha yang berkesan untuk mempertingkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah

Zikir terbahagi kepada dua samada qalbi (dalam hati) atau lisani (iaitu pada lafaz lidah). 

Zikir orang-orang soleh adalah dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil sementara zikir orang yang berpaling daripada Allah iaitu dengan nyanyian yang melalaikan, ghibah (mengumpat orang lain), namimah (mengadu domba), dan kekejian. Seorang penyair menggambar golongan ini dengan menyatakan:

Definisi Menari
Definisi menari dalam Kamus Dewan menari bermaksud melakukan tari (gerakan badan serta tangan dan kaki berirama) mengikut rentak muzik manakala berdansa bermaksud menari cara Barat. Ini bermakna menari lebih luas konsepnya dan contoh-contoh ayat boleh dilihat dalam kamus, buku, majalah dan artikel yang berkaitan.

Hukum Gerakan Dalam Zikir
Sebelum dibincangkan tajuk utama iaitu zikir dalam keadaan menari, suka dinyatakan bahawa zikir dalam keadaan bergerak adalah perkara yang dibolehkan kerana ia menyebabkan badan menjadi lebih bersemangat untuk melaksanakan ibadat zikir. Mereka berdalilkan kepada nas al-Qur’an dan hadith antaranya:

Firman Allah SWT
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
Maksudnya: “…(Iaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring…”
(Surah Ali Imran: 191)

Al-Maghari berkata: “Sepanjang menjalani kehidupan, mereka tidak pernah lupa kepada Allah SWT malahan mereka sering mengingati Allah SWT dengan hati yang terang dan menyedari sepenuhnya bahawa Allah SWT sentiasa mengawasi dirinya.”

Adapun dari segi hadith Ummu al-Mukminin Aisyah RAnha pernah melaporkan bahawa Rasulullah SAW berzikrullah (berzikir kepada Allah) dalam semua keadaan. Sedang berjalan, menaiki kenderaan, di atas kenderaan, berbaring, duduk dan bermacam lagi pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.

Hukum Zikir Dalam Keadaan Menari
Setelah melihat kepada isu yang begitu hangat ini, kami mendapati terdapat dua pandangan dengan masing-masing berhujah. Secara ringkasnya seperti berikut.

Pertama: Haram
Antaranya firman Allah SWT: 
Antara hujah golongan ini adalah Rasulullah SAW tidak melakukannya begitu juga secara umumnya para Sahabat tidak melakukannya kecuali sebahagian kecil sahaja di kalangan mereka.
اللَّـهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّـهِ 
Maksudnya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar kerananya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allâh…”
(Surah al-Zumar: 23)

Ayat ini juga membantah tarian-tarian ibadah sebab telah menjelaskan kondisi orang Mukmin saat mendengarkan zikir yang disyariatkan. Keadaan orang Mukmin yang mengenal Allah SWT, yang takut kepada hukuman-Nya, ketika mendengarkan firman-Nya, janji dan ancaman-Nya, hati mereka melunak, air mata bertitisan, bergementar kulit, tampak khusyuk dan penuh ketenangan. 
Seterusnya mereka bersandarkan kepada ijma’ ulama’ yang melarang serta menganggap perbuatan tarian seperti itu adalah bid’ah yang ditegah. Antara tokoh yang tegas dengan pendapat ini adalah:
• Imam Abu Bakar al-Turtusi
• Imam Taqiyuddin al-Subki
• Imam Ibn Hajar al-Haitami
• Imam al-Qurtubi
• Imam Ibn Kathir
• Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Hanafi dan lain-lain lagi.

Antara kaedah yang masyhur digunakan ialah:
الأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْحَظَرُ أَوِ التَّوَقُّفُ
Maksudnya: Asal pada ibadat adalah haram atau tawaqquf

Maksud tawaqquf adalah terhenti kepada dalil. Jika terdapat dalil hukumnya dibolehkan. Sebaliknya jika tiada dalil, hukumnya adalah haram. Kaedah ini telah digunakan oleh ramai tokoh ulama’ antaranya :

• al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari
• Imam al-Zurqani dalam mensyarahkan kitab al-Muwatta’
• Imam Ibn Muflih dalam al-Adab al-Syar’iyyah
• Imam al-Syaukani dalam Nail al-Authar dan ramai lagi.

Antara tokoh ulama’ terdahulu yang memfatwakan ketidakharusan berzikir dalam keadaan menari ialah:

• Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi ketika ditanya dalam isu ini beliau menyatakan: “Sesungguhnya pelaku perbuatan ini bersalah, kehormatan dirinya jatuh. Orang-orang yang mengamalkan perbuatan ini secara berterusan kesaksiannya ditolak disisi syara', perkataannya tidak diterima, rentetan daripada ini, tidak diterima periwayatannya dalam hadis Rasulullah SAW, tidak diterima juga kesaksiannya dalam melihat anak bulan Ramadhan, dan tidak diterima berita-berita agama yang dibawa. Manakala keyakinan bahawa dirinya cinta pada Allah, sesungguhnya kecintaan dan ketaatan tersebut mungkin terjadi selain dari amalan ini, dan mungkin dia mempunyai hubungan dan amalan yang baik dengan Allah selain daripada situasi yang disebutkan ini. 

Sedangkan amalan ini merupakan satu maksiat dan permainan senda gurau, yang dikeji oleh Allah dan Rasul-Nya, dibenci pula oleh ahli ilmu dan mereka menamakan berbuatan ini sebagai bid’ah dan melarang dari berlakunya. Tidak boleh bertaqarrub dengan Allah dengan melakukan maksiat kepada-Nya, tidak boleh juga ketaatan kepada Allah terjadi dengan melakukan larangan-Nya. Barangsiapa yang menjadikan wasilah kepada Allah dengan maksiat dia patut dipulau dan dijauhkan, dan barangsiapa menjadikan permainan dan persendaan sebagai agama, mereka adalah seperti orang yang berusaha menyebarkan kerosakan diatas muka bumi, dan orang-orang yang ingin sampai kepada Allah bukan dengan cara Rasulullah SAW dan sunnahnya, maka dia sangat jauh untuk mencapai apa yang diidamkannya". (sebahagian fatwa yang mengutuk penggunaan seruling, tarian dan pendengaran muzik oleh Imam Ibnu Qudamah. Rujuk http://majles.alukah.net/t36981/)

• Sultan al-Ulama’ Izzuddin Abd al-Salam melalui kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam 2/349-350 antara lain menyebut: " …Manakala tarian dan tepukan : ianya adalah keringanan (akal) dan kebodohan menyerupai gerakan perempuan, tidak ada yang melakukan demikian itu kecuali orang yang cacat akalnya, atau berpura-pura lagi pembohong, bagaimana dia boleh menari mengikuti dengan irama nyanyian daripada orang yang telah hilang jiwanya, dan telah tiada hatinya! Sedangkan Rasulullah SAW telah pun bersabda : (Sebaik-baik kurun adalah kurunku, kemudian kurun yang selepasnya, kemudian yang selepasnya). 

Tidak pernah seorang pun yang boleh diikuti amalan mereka melakukan sebarang perbuatan demikian, sesungguhnya demikian itu hanyalah penguasaan syaitan keatas suatu kaum yang menyangka lenggokan mereka ketika mendengar(nyanyian yang dianggap zikir) adalah bentuk pergantungan dengan Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya mereka telah tertipu dengan apa yang mereka kata, dan menipu dalam apa yang mereka dakwa. Mereka mendakwa bahawa mereka mendapat dua kelazatan ketika mendengar apa yang didendangkan, 

Pertama. kelazatan ma'rifah dan keadaan bergantung pada Allah. Kedua, kelazatan suara, lenggokan nada, kata-kata yang tersusun yang membawa kepada kelazatan nafsu yang bukan dari agama dan tiada kaitan dengannya. Tatkala makin besar dua kelazatan ini yang mereka rasa, mereka tersilap dan menyangka bahawa terkumpulnya kelazatan itu berlaku dengan ilmu ma'rifat dan keadaan, akan tetapi tidak begitu, bahkan yang sering berlaku hanyalah kelazatan nafsu semata yang tiada kaitan dengan agama. 

Sebahagian ulama mengharamkan tepukan tangan, kerana hadis Rasulullah SAW (Sesungguhnya tepukan hanya untuk perempuan) dan Rasulullah melaknat perempuan yang menyerupai lelaki, begitu juga lelaki yang menyerupai perempuan. Barangsiapa yang merasai kehebatan Allah, dan menyedari kebesarannya, tidak dapat dibayangkan akan timbul dari dirinya tarian dan tepukan, dan tidak timbul tarian dan tepukan kecuali dari orang yang dungu lagi jahil, tidak akan berlaku pada yang berakal dan mulia. Bukti kejahilan pelaku kedua perbuatan ini ialah bahawasanya syari’at tidak mengajarkannya tidak dari Al-Quran, juga tidak dari Al-Sunnah, juga tidak dilakukan walau seorang dari nabi-nabi, dan tidak diendahkan oleh pengikut-pengikut para nabi, bahkan ianya hanya dilakukan oleh golongan jahil lagi bodoh yang terkeliru hakikat sesuatu dengan nafsu mereka.

Sesungguhnya Allah telah berfirman "…Dan kami telah turunkan padamu sebuah kitab yang menerangkan segala perkara…). Ulama salaf terdahulu telah pergi, begitu juga dengan golongan terhormat dari golongan khalaf kemudian, tiada sebarang perkara yang mengelirukan mereka. Barangsiapa yang melakukan yang demikian, dan yakin bahawa itu merupakan suatu tujuan dirinya, demikian itu bukanlah suatu yang mendekatkan dirinya pada tuhannya, dan sekiranya dia meyakini bahawa demikian itu tidak dilakukan kecuali ingin bertaqarrub dengan Allah, sangat kejinya apa yang telah dilakukan, kerana dia menyangka perbuatan ini sebahagian dari ketaatan, sedangkan ianya hanya suatu bentuk kebodohan"

Kedua: Harus
Mereka berhujahkan kepada umum ayat dan beberapa dalil daripada hadith antaranya firman Allah SWT:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
Maksudnya: “…(Iaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring…”
(Surah Ali Imran: 191)

Imam al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menyatakan bahawa sebagaimana yang diceritakan daripada Ibn Umar RA dan Urwah bin al-Zubair RA serta jamaah daripada sahabat RA, mereka telah keluar untuk menyambut hari raya di musolla dan berzikir kepada Allah. Tatkala dibacakan ayat di atas, mereka bangun berzikir dalam keadaan berdiri sebagai tabarruk muwaffiqh ayat tersebut. 

Firman Allah SWT:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ
Maksudnya: “Kemudian apabila kamu telah selesai mengerjakan sembahyang, maka hendaklah kamu menyebut dan mengingati Allah semasa kamu berdiri atau duduk, dan semasa kamu berbaring.”
(Surah Al-Nisa’: 103)

Imam al-Qurtubi dalam al-Jami’ al-Ahkam menyebut: Dalam ayat di atas, Allah menyatakan anak Adam melakukan urusan mereka dalam tiga keadaan. Ianya seolah-olah membataskan mengikuti masa. 

Antara hadith yang digunakan oleh golongan ini adalah

Daripada Aisyah RA berkata:
جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ
Maksudnya: “Telah datang orang Habsyah menari pada hari raya di masjid. Lalu Nabi SAW memanggilku dan aku meletakkan kepalaku di atas bahu Baginda. Aku menonton tarian mereka sehingga aku mengalihkan pandanganku daripada mereka.”
Riwayat Muslim (892)

Daripada Saidina Ali RA berkata:
زرت النبي صلى الله عليه وسلم مع جعفر وزيد بن حارثة ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم لزيد : ( أنت مولاي ) فبدأ زيد يحجل ويقفز على رجل واحدة حول النبي صلى الله عليه وسلم ، ثم قال لجعفر : ( أما أنت فتشبهني في خَلقي وخُلقي ) فحجل جعفر كذلك ، ثم قال لي : ( أنت مني وأنا منك ) فحجل خلف جعفر
Maksudnya: “Aku telah menziarahi Nabi SAW bersama Ja’far dan Zaid bin Harithah. Maka bersabda Nabi SAW kepada Zaid: ‘Awak adalah bekas hambaku.” Zaid kemudiannya merasa amat suka dan menggerakkan badan kerana kegirangan atas sebelah kaki di hadapan Nabi SAW. Kemudian Nabi berkata kepada Ja’afar: ‘Awak pula sama sepertiku dari segi rupa bentuk dan akhlak.’ Maka Ja’far menggerakkan badan kerana kegirangan kemudian Rasulullah SAW berkata kepadaku pula: ‘Awak daripadaku dan aku daripadamu.’. Lantas Saidina Ali menggerakkan badan kerana kegirangan di belakang Ja’far.”
Riwayat Ahmad (2/213)

Al-Allamah al-Kattani menafsirkan perkataan (حجل) dengan menari dalam keadaan tertentu. Sama seperti pendapat Ibn Hajar al-Asqalani.

Selain itu, diriwayatkan oleh Abu Naim, daripada al-Fudhail bin ‘Iyadh RH berkata:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ذكروا الله تعالى تمايلوا يمينا وشـمالا كما يتـمايل الشـجر في يوم الريح العاصف إلى إمام ثم إلى وراء.
Maksudnya: “Bahawa sahabat Rasulullah SAW ketika berzikir bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri seperti mana pokok bergoyang ditiup angin kencang ke hadapan kemudian ke belakang.” (al-Tartib al-Idariyah, Abd al-Hayy al-Kattani, 2/134)

Adapun pendapat ulama’ yang mengharuskannya pula antaranya ialah 

• Al-Allamah Ahmad Zaini Dahlan tatkala disebut hadith dan nas berkenaan dengan Ja’far, mengambil hukum bahawa Rasulullah tidak mengingkari perbuatannya dan atas dasar inilah ia dijadikan sumber hujah bagi golongan sufi menari ketika merasai keseronokan dalam majlis zikir.
• Syeikh 'Attiyyah Saqar dalam kitabnya yang terkenal Fatawa min Ahsanil Kalam menyebut:
وقد قال المحققون ان الكذر كأية عبادة لا يقبل الا اذا كان خالصا لوجه الله لا رياء فيه ولا سمعة
Sungguh telah berkata oleh segala ulama' Muhaqqiq akan bahawasa zikir itu seperti ayat ibadat, tak diterima melainkan apabila ia ialah bersih semata - mata kerana Zat Allah, tiada jenis riak padanya dan tiada sum'ah.
وكذلك اذا صحب الذكر أصوات صاخبة أو حركات خاصة تذهب الخشوع كان عبادة ظاهرية جوفاء خالية من الروح ومثل ذلك اذا كانت المجالس تؤذي الغير كالمرضى المحتاجين الى الراحة أو المشتغلين بمذاكرة علم أو عبادة أخرى اهـــ
Demikian itu juga apabila bersama zikir ini suara-suara yang bingit atau gerakan-gerakanyang tertentu yang menghilangkan akan khusyuk nescaya adalah ia ialah ibadat zahir serta sunyi daripada ruh ibadat, dan seumpama demikian itu ialah apabila majlis-majlis ini ialah menyakiti orang lain seperti orang-orang sakit yang mmerlukan rehat atau orang-orang yang sibuk dgn muzakarah ilmu atau ibadat yg lain.

• Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi menyatakan di dalam Majalah al-Tasawwuf al-Islami:
إذا لم تجد فيه نصاً فالأمر على الإباحة لأن النهى على التحريم افعل ولا تفعل فهو على مطلق الإباحة وإذا كان التمايل صناعيا كان نفاقا وإذا كان التمايل طبيعيا كان وجداً لا سيطرة للإنسان عليه والذكر راحة نفسية وعلى كل حال فالذاكرون وإن تمايلوا فهم خير من الذين يتمايلون فى حانات الرقص
Apabila tak dijumpai satu nas pun pada masalah ini maka perkara ini adalah harus kerana larangan atas mengharamkan itu ialah sighah if'al dan la taf'al, maka ia semata - mata harus, dan apabila condong badan (bergerak) badan dibuat-buat nescaya adalah ia nifaq dan apabila condong tubuh itu dengan semulajadi, maka ia adalah rasa batin, tidak boleh dibuat-buat perasaan tersebut, dan zikir itu ialah kerehatan diri dan pada setiap kelakuan. Maka orang yang berzikir itu sekalipun bergerak badan mereka itu, lebih baik daripada mereka yang bergerak yakni bergerak - gerak mereka dalam tarian di kedai arak.

Tarjih
Selepas meneliti beberapa hujah dari dua aliran yang mengharamkan dan yang membenarkannya, kami berpendapat:

i. Pengharaman zikir dalam keadaan menari adalah lebih kuat kerana kaedah yang digunakan amat jelas. 

ii. Hadith yang digunakan untuk mengharuskan zikir dalam keadaan menari lebih bersifat menggambarkan berita gembira yang diperolehi daripada Rasulullah SAW, bukannya mereka berzikir semasa itu. Ini adalah dua keadaan yang berbeza.

iii. Begitu juga perlakuan itu adalah hanya beberapa orang sahabat sahaja, bukan keseluruhan dan ia tidak ada kena mengena dengan zikir.

iv. Seterusnya mereka menggunakan perkataan tamayul yang memberi maksud menggoyangkan atau melenggokkan sedikit badan. Ia bukanlah seperti menari.

v. Kami juga berpendapat, maksud gerakan yang diharuskan itu hanya gerakan yang kecil atau sedikit seperti kepala dihayun ke hadapan dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan sepertimana yang dilakukan oleh seseorang ketika asyik berzikir. Maka, ini tidak menjadi masalah.

vi. Hujah yang mengharuskan itu telah dijawab oleh ramai ulama seperti nas-nas yang dikemukakan lebih bersifat umum dan bukan dimaksudkan secara khusus berdasarkan wajah istidlal yang digunakan. 

vii. Begitu juga kedudukan hadith seperti hadith Saidina Ali. Terdapat padanya dua illah.

• Hani’ bin Hani’ dianggap jahalah dari segi halnya tau keadaannya.
• Tadlis Ibn Ishaq al-Sabi’i.

Justeru hadith ini dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’ hadith. 

viii. Fatwa Sultan al-Ulama’ Izzuddin Abd al-Salam dan Ibn Qudamah al-Maqdisi begitu kukuh untuk menjadi penguat dan sandaran pengharaman zikir dalam keadaan menari. 

Kenyataan JAKIM
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) menegaskan supaya orang Islam tidak meniru amalan berzikir ke atas Nabi Muhammad SAW sambil menari kerana perbuatan itu disifatkan sebagai ajaran yang menyeleweng.

Ketua Pengarah Jakim, Datuk Othman Mustapha berkata, pihaknya telah mengeluarkan larangan tersebut dalam laman web e-fatwa menerusi keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Kali Ke-48 pada 3 April 2000.

“Beberapa tahun lalu budaya berzikir sambil menari ini tersebar di Malaysia dan ketika itu Jakim telah pun mengeluarkan larangan kepada umat Islam supaya tidak terpengaruh atau mengikut cara tersebut.

“Bagaimanapun kejadian yang sama berlaku lagi, justeru Jakim menegaskan sekali lagi bahawa budaya berzikir sambil menari itu merupakan ajaran yang menyeleweng dan bertentangan dengan budaya ma­syarakat Islam di negara ini,” katanya.

Kenyataan Mufti Wilayah Persekutuan
Dalam isu seperti ini, amatlah perlu kita memahami hakikat tasawwuf sebenar dan juga tareqat supaya apa yang kita amalkan benar-benar mengikut yang diredhai Allah SWT. 

Syeikh Dahlan al-Qadiri dalam kitabnya Siraj al-Talibin telah menyebut bahawa hukum belajar tasawwuf adalah wajib aini bagi setiap mukallaf. Ini kerana sebagaimana wajib mengislahkan yang zahir, begitu juga wajib mengislahkan yang batin. Benarlah kata Imam Malik

Siapa yang bertasawwuf tanpa faqih dia mungkin membawa kafir zindiq.
Siapa yang mempelajajari feqah tanpa tasawwuf, dia boleh membawa fasiq.
Siapa yang menghimpunkan kedua-duanya nescaya dia yang sebenarnya tahqiq.

Tatkala kita ingin mendekatkan diri kepada Allah samada melalui ilmu atau penghayatan amalan maka hendaklah ia benar-benar mengikut apa yang disyariatkan oleh Allah. 

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata dan mewasiatkan kepada anaknya: “Terbanglah kamu ketika kamu menuju kepada Allah dengan dua sayap iaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.” Hal ini amat penting kerana sehebat mana manusia sekalipun, jika rujukannya bukan lagi Kitabullah dan Sunnah Rasul maka mudahlah terbelit dengan godaan syaitan. 

Justeru, amat wajar kita melakukan sesuatu benar-benar dengan kefahaman dan sebaliknya tanpa ilmu, seseorang itu mudah terpedaya dan tergelincir daripada hakikat Islam yang sebenar. Bacalah kitab-kitab tasawwuf seperti Minhaj al-Abidin oleh Imam al-Ghazali, Mukhtasar Minhaj al-Qasidin oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi dan lain-lain ulama sufi yang muktabar.

Sekali lagi kami tegaskan hukum zikir dalam bentuk tarian tidak dibolehkan sama sekali. Walaubagaimanapun, jika bentuk goyangan sebahagian kepala atau badan dalam keadaan sedar, waras, tidak dibuat-buat, disamping menjaga adab tatasusila dan tidak berlebihan, maka adalah diharuskan.

Kami menjawab persoalan berkaitan tasawwuf ini begitu banyak melalui buku kami, A – Z Tentang Tasawwuf dan juga kitab Ahasin al-Kalim Syarah al-Hikam. Semoga dengan sedikit pencerahan ini menjadikan kita benar-benar memahami akan hakikat Islam yang sebenar untuk kita amali yang akhirnya menuju kepada Allah SWT mengikut yang diredhai-Nya. Semoga kita semua menjadi hamba-hamba-Nya yang bernaung di bawah kehidupan Islam yang sebenar dan merasai kemanisan dalam hati ketika beramal. Amin.

Penutup
Alhamdulillah, selesailah sudah Bayan Linnas Siri ke-17 berkenaan dengan hukum zikir dalam keadaan menari. Dengan menekuni kedua-dua pendapat dan hujah, alangkah baik kita melandasi bahtera kehidupan kita terutamanya pengamalan ibadat ‘ala basirah dan mengikut hadyun nabawi kerana sudah barang tentu mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Pada saat yang sama juga hendaklah kita melazimi dan membanyakkan zikir sebagaimana galakan Islam itu sendiri melalui nas al-Qur’an dan hadith supaya kita berzikir dengan sebanyak-banyaknya. 

Syariat Islam tidak menyebut secara jelas dan terang tentang kebolehan tarian ketika berzikir, baik dalam al-Qur’ann maupun Hadith. Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh mana-mana Rasul dan Nabi pun dan begitu juga mereka yang mengikut jejak langkah Rasulullah di kalangan sahabat. Atas asas inilah alangkah baiknya kita berpada dengan berzikir bersungguh-sungguh sepertimana yang dilakukan di kalangan khalayak masyarakat kita ketika ini dengan menjaga adab dan tatasusilanya. 

Tarian zikir yang dilakukan oleh sebahagian manusia penuh dengan keadaan yang kurang baik. Sementelahan lagi, ia membawa kepada tasyabbuh (penyerupaan) kepada penganut agama lain atau wanita dan kanak-kanak yang kecil begitu juga mencampur adukkan antara maksiat dan ibadat. Lebih dibimbangi lagi, sudah ada unsur muzik yang dimasukkan sama yang banyak melalaikan hati ketika berzikir. 

Akhir kalam, saya berdoa kepada Allah mudah-mudahan Allah menunjukkan kita kepada jalan keredhaan-Nya dan selamat daripada sebarang maksiat. Amin. 

Akhukum Fillah,
DATUK DR. ZULKIFLI MOHAMAD AL-BAKRI
Muft Wilayah Persekutuan.
19 April 2015 bersamaan 29 Jamadil Akhir 1436H

Abu Yazid Al Busthami, pelopor sufi, pada suatu hari pernah didatangi seorang lelaki yang wajahnya kusam dan keningnya selalu berkerut. Dengan murung lelaki itu mengadu, "Tuan Guru, sepanjang hidup saya, rasanya tak pernah lepas saya beribadah kepada Allah. Orang lain sudah lelap, saya masih bermunajat. Isteri saya belum bangun, saya sudah mengaji. Saya juga bukan pemalas yang enggan mencari rezeki. Tetapi mengapa saya selalu malang dan kehidupan saya penuh kesulitan?"

Guru menjawab sederhana, "Perbaiki penampilanmu dan ubahlah raut mukamu. Kau tahu, Rasulullah adalah penduduk dunia yang miskin namun wajahnya tak pernah keruh dan selalu ceria. Sebab menurut Rasulullah,salah satu tanda penghuni neraka ialah muka masam yang membuat orang curiga kepadanya."

Lelaki itu tertunduk. Dia pun berjanji akan memperbaiki penampilannya. Wajahnya sentiasa berseri. Setiap kesedihan diterima dengan sabar, tanpa mengeluh. Alhamdullilah sesudah itu ia tak pernah datang lagi untuk berkeluh kesah.

Umar bin Khattab walaupun jawatannya kalifah, pakaiannya sangat sederhana dan bertampal-tampal. Tetapi sikapnya ramah, wajahnya sentiasa senyum. mukanya berseri. Tak hairan jika Imam Hasan Al Basri berpendapat, awal keberhasilan suatu pekerjaan adalah raut muka yang ramah dan penuh senyum. Bahkan Rasulullah menegaskan, senyum adalah sedekah paling murah tetapi paling besar pahalanya.
Sumber